MAKALAH
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan Pancasila
Dosen pengampu: Chandra Dewi
Disusun oleh:
Wuri S. 11417141007
Lucky M. 11417141016
Saputri N. R. 11417141018
Dyah R. 11417141035
Taat Setya N. 11417141039
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA REGULER
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga merupakan suatu pandangan atau asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang bersifat umum tentang kehidupan masyarakat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, Pancasila sebagai paradigma pembangunan menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Mengapa paradigma pembangunan di Indonesia mengacu pada Pancasila?
1.2.2 Bagaimana aktualisasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan berbagai bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
• Tujuan khusus
- Untuk mengetahui alasan mengapa paradigma pembangunan berbagai bidang di Indonesia mengacu pada Pancasila.
- Untuk mengetahui aktualisasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan berbagai bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
• Tujuan umum
- Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang pendidikan, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, hukum, kehidupan beragama, dan iptek. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan berbagai bidanmg tersebut.
2.1.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Pembangunan dan pengembangan politik di Indonesia harus didasari pada sisi manusia Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara. Oleh karena itu, kehidupan politik dalam negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada tuntutan HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini sebagai perwujudan hak atas martabat kemanusiaan sehingga sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin atas hak-hak tersebut.
Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urutan-urutan sistematis, bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (Sila 4), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara harus berdasarkan pada moralitas yaitu moral Ketuhanan (Sila 1), moral kemanusiaan (Sila 2) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (Sila 3). Juga aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (Sila 5).
2.1.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Salah satu upaya untuk mengatasi krisi dalam kehidupan bangsa adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti. Dalam pendidikan tersebut hendaknya memperhitungkan baik kemampuan peserta didik untuk berpikir tentang persoalan-persoalan moral, maupun cara dimana seorang peserta didik benar-benar bertindak dalam situasi-situasi yang menyangkut benar dan salah.
Pendidik (guru) yang baik adalah vital bagi kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Memiliki akhlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akam mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik.
Komponen-komponen karakter yang baik mencakup:
1. pengetahuan moral (moral knowing), meliputi 6 unsur:
a. moral awareness, yaitu kesadaran moral atau kesadaran hati nurani yang terdiri dari 2 aspek:
1) tanggung jawab moral, yaitu menggunakan kecerdasan untuk melihat jika situasi meminta penilaian atau pertimbanngan moral dan berpikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut.
2) Is taking trouble to be informed.
b. Knowing moral values, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, antara lain: rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati.
c. Perspectives-taking, kemampuan untuk member pandangan pada orang lain, melihat situasi seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain yang berbeda eadaan dengan mereka.
d. Moral reasoning, pengertian tentang apa yang dimaksud dengan bermoral. Alsan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan untuk berperilaku tertentu dalam berbagai situasi. Untuk itu diperlukan berbagai stimulasi yang relevan dengan karakteristik anak usia dini.
e. Decision-making, kemampuan mengambil ke[utusan dalam menghadapi masalah moral.
f. Self-knowledge, kemampuan mengenal atau memahami diri sendiri, dan hal ini paling sulit dicapai, tetapi hal ini penting untuk mengembangkan moral. Dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihat kembali perilaku yang pernah diperbuat, dan menilainya.
2. perasaan moral (moral feeling), meliputi 6 unsur:
a. conscience (kata hati atau hati nurani), memiliki 2 sisi, sisi kognitif (pengetahuantentang apa yang benar), dan sisi emosi (rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu)
b. self-esteem (harga diri), jika kita menilai diri sendiri berarti kita merasa hormat terhadap diri sendiri, dan dengan cara demi,kian kita mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badsana kita sendiri. Jika kita memiliki harga diri, kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain. Tugas pendidik adalah membantu untuk mengembangkan secara positif harga diri atas dasar nilai-nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan kemampuan mereka sendiri untuk berbuat baik.
c. Empathy (empati), kemampuan untuk mengidentifikasi , seolah-olah mengaalami sendiri apa yang dialami orang lain, atau merasakan apa yang orang lain rasakan, ini adalah bagian dari emosi (kemampuan memandang orang lain). Tugas pendidik adalah mengembangkam empayti yang bersifat umum.
d. loving the good (cinta pada kebaikan), jika seseorang cinta pada kebaikan mereka akan berbuat baik dan m emiliki moralitas.
e. self-control (control diri), kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, hal ini juga diperlukan untuk mengekang kesenangan diri sendiri.
f. Humility (kerendahan hati), kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan. Kerendahan hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri.
3. tindakan moral (moral action), meliputi 3 unsur:
a. competence (kompetensi moral), kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif.
b. Will (kamauan), kemampuan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi dari energy moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita kerjakan.
c. Habit (kebiasaan), suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar perlu senantiasa dikembangkan. Peserta didik perlu diberi kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kebiasaan yang baik, dan mempraktekannya bagaimana menjadi orang yang baik.
Upaya yang dilakukan dalam pendidikan:
a) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat indonesia.
b) Meniongkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan.
c) Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan sistem kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik.
d) Memberdayakan lembaga pendididka baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pemberdayaan nilai, sikap, dan kemampuan.
e) Mengembangkan sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa.
Menurut William J. Bennett (1997) dalam bukunya “ the book of virtues: a treasury of great moral stories” mengungkapkan beberapa cara untuk mengambangkan karakter yang baik, yaitu:
1. Self-discipline (disiplin diri), perlu ditanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, dan semua komponen yng terlibat dalam proses pembelajaran.
2. Compassion (rasa terharu) yang disertai dengan rasa kasih saying dapat ditanamkan melalui ceritera-ceritera yang bermanfaat seoptimal mungkin.
3. Responsibility (tanggung jawab), orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa orang tersebut belum matang.
4. Friedship (persahabatan). Kita harus mengajarkan kaepada siswa bagaimana memilih teman.
5. Work (bekerja), dalam hal ini perlu ditanamkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara menikmati mengerjakan sesuatu, cara bekerja sama, member dorongan dan apresiasi terhadap usaha-usaha mereka.
6. Courage (keberaanian atau keteguhan hati), hal ini perlu ditanamkan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup, bimbang, dan sifal lainnya yang mengganggu.
7. Perseverance (ketekunan), bagaimana cara mendorong mahasiswa/siswa agar tetap tekun melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya.
8. Honesty (kejujuran), peserta didik perlu dididik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata murni, dan dapat dipercaya. Kejujuran adalah hal yang sangat penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan sejati dalam masyarakat.
9. Loyality (loyalitas), berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatan, afiliasi keagamaan, kehidupan professional dan lain-lain.
10. Faith (keyakinan), keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dimensi yang sangat penting (sumber moral manusia). Keyakinan juga merupakan disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia, dapat amembnaytu kestabilan social dan perkembangan moral individu dan masyarakat.
2.1.3 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ideologi
Ideologi adalah suatu kompleks idea-idea asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup (Driyarkara, 1976). Dalam pengertian ini termuat juga pandangan tentang Tuhan, tentang manusia sesama, tentang hidup dan mati, tentang masyarakat dan negara. Istilah manusia dan dunia mengandung arti bahwa manusia itu mempunyai tempat tertentu, mempunyai kedudukan tertentu, berarti mempunyai hubungan hubungan atau relasi. Sesuai dengan tabiat hubungan-hubungan itu, suatu ideologi bersifat rembug kehidupan dunia, dan tidak mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi komunis) atau ideologi yang bersifat “diesseitig sekaligus juga yenseitig” (merembug kehidupan akhirat, mengakui adanya Tuhan, contohnya ideologi pancasila).
Dalam rumusan di atas, ideologi bukanlah hanya pengertian. Ideologi adalah prinsip dinamika, karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga berupa ideal atau cita-cita. Realisasi dari idea-idea yang menjadi ideologi itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia.
Pengembangan pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas, dan fleksibilitas (pancasila sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional indonesia.
2.1.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Jarang kita menemui pemikiran tentang moralitas dan Ketuhanan dalam dunia ekonomi. Karena, lazimnya kita melihat pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan akhirnya yang kuatlah yang akan menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 yang menumbuhkan ekonomi kapitalis di berbagai negara, khususnya Eropa dan Ameika Serikat.
Maka untuk menanggulangi hal tersebut, munculah ide tentang ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang humanistik yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonominya saja melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka sistem ekonomi di Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Dan juga pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan karena tujuan utama ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera.
2.1.5 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial-Budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi di segala bidang dewasa ini. Sebagai anti klimaks, proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi nilai sosial budaya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jikalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk massa yang cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya yang muaranya adalah pada masalah politik.
Oleh karena itu dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki Bangsa Indonesia sebagai dasar nilai, yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua Pancasila Yaitu ”kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya.
2.1.6 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ketahanan Nasional
Pada hakikatnya, negara merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya hak-hak warga negara maka diperlukan peraturan perundang-undangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban warga maupun dalam rangka melindungi hak-hak warganya. Oleh karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsanya. Atas dasar pemikiran yang demikian maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan warga negara.
Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan mendasarkan diri pada hakikat nilai kemanusiaan monopluralis, maka pertahanan keamanan negara harus dikembalikan pada tercapainya harkat dan martabat manusia sebagai pendukung pokok negara. Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara.
Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (Sila I dan II). Pertahanan dan keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga negara (Sila III). Pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (Sila IV) dan akhirnya pertahanan dan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat (terwujudnya suatu keadilan sosial) agar benar-benar negar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan.
2.1.7 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam konsep negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin, 1992). Sistem hukum menurut wawasan Pancasila merupakan bagian integral dari keseluruhan system kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan itu berkaitan secara timbal balik, melalui berbagai pengaruh dan interaksinya, dengan sistem-sistem lainnya. Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar, yakni : (1) Sistem hukum dikembanngkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya, (2) Sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, (3) Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa, (4) Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses pembangunan (Soerjanto Poespo Wardojo, 1989).
Melalui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalkam suatiu proses sosial yang sendirinya adalah fenomen dinamis (Budiono Kusumohamidjijo, 2000).
2.1.8 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Beragama
Proses reformasi yang sedang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia, menimbulkan berbagai konflik SARA yang utamanya banyak bersumber dari masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran besar bangsa Indonesia ke arah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. Tragedi di berbagai wilayah Indonesia seperti Poso, Ambon, dan daerah-daerah lainnya menunjukkan betapa semakin melemahnya toleransi kehidupan beragama yang terjadi di negara kita.
Oleh karena itu, merupakan suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan suasana kehidupan beragama yang penuh perdamaian, saling menghargai, saling menghormati dan saling mencintai sebagai sesama umat manusia yang beradab. Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Manusia adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, oleh karena itu manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa dalam wilayah negara di mana mereka hidup. Namun demikian Tuhan menghendaki untuk hidup saling menghormati, karena Tuhan menciptakan umat manusia dari laki-laki dan perempuan ini yang kemudian berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok-kelompok baik sosial, politik, budaya maupun etnis tidak lain untuk saling hidup damai yang berkemanusiaan.
2.1.9 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Iptek
Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatkan harkat dan martabatnya, maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa dan kehendak. Atas dasar kreativitas akalnya menusia mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengolah kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, tujuan yang essensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Pancasila yang sila-silanya merupakan suatu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi sistem etika dalam pengembangan Iptek.
Sila Ketuhanan yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila ini, Iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya, apakah merugikan manusia dengan sekitarnya atau tidak.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek haruslah bersifat beradab. Pengembangan Iptek harus ditujukan demi kepentingan umat manusia, bukan untuk kesombongan, dan keserakahan manusia.
Sila Persatuan Indonesia, memberikan arahan bahwa pengembangan Iptek tersebut hendaknya dapat mengembangkan rasa Nasionalisme, kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia. Tetapi bukan ultra Nasionalisme yang bisa membuat kita menjadi bangsa yang menggagap rendah bangsa lain.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mendasari perkembangan Iptek secara demokratis. Artinya, Ilmuwan harus memiliki kebebasan mengembangkan Iptek, tetapi ilmuwan tersebut juga harus terbuka menerima kritik, pengkajian ulang maupun pembandingan dengan penemuan teori lainnya.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yang menyangkut keseimbangan dirinya dengan Tuhan, dengan sesama manusia/ bangsa Indonesia, dan dengan alam lingkungannya.
Kesimpulannya, Pancasila merupakan sumber nilai, kerangka berpikir serta batas-batas moralitas bagi pengembangan Iptek.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sangat sesuai sebagai paradigma pembangunan dan kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Hal ini karena pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia yang tidak dapat tergantikan oleh Ideologi bangsa lain. Aspek Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan merupakan landasan setiap manusia Indonesia untuk berkehidupan di Indonesia maupun di mana mereka berada.
DAFTAR PUSTAKA
Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press
M.S, Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Rustamaji & Anang Santoso. 2005. Panduan Belajar Primagama. Yogyakarta:
Graha Primahgama
Isjwara, F. 1992. Pengantar Ilmu politik. Bandung: Bina Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar